NERACA PEMBAYARAN DAN TINGKAT KETERGANTUNGAN PADA MODAL ASING
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1988 menggariskan bahwa kebijaksanaan pembangunan diarahkan untuk selalu bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yakni pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional. Kebijaksanaan neraca pembayaran sebagai bagian dari kebijaksanaan pembangunan selalu mengacu pada Trilogi Pembangunan tersebut secara serasi. Di samping itu juga diusahakan tercapainya perubahanfundamental dalam struktur produksi dan perdagangan luar negeri sehingga dapat meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap guncangan-guncangan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Di bidang perdagangan, melalui deregulasi dan debirokrati-sasi, kebijaksanaan ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri dalam negeri, menunjang pengembanganekspor non migas, memelihara kestabilan harga dan penyediaan barang yang dibutuhkan di dalam negeri, serta menunjang iklim usaha yang makin menarik bagi penanaman modal. Kebijaksanaan neraca pambayaran lainnya juga dilanjutkan, antara lain dalam bentuk pengelolaan hutang dan pinjaman luar negeri secara cermat dan hati-hati, terpeliharanya kurs valuta asing yang mantap dan realistis, serta terpeliharanya cadangan devisa yang memadai .
A.NERACA PEMBAYARAN
Neraca pembayaran adalah catatan sistematis dari semua transaksi ekonomi internasional yang terjadi penduduk dalam negeri suatu negara dengan penduduk luar negeri selama jangka waktu tertentu dan biasanya dinyatakan dalam dolar AS. BOP sangat berguna karena menunjukkan struktur dan komposisi transaksi ekonomi dan posisi keuangan internasional dari suatu negara, dan juga BOP merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi dari suatu negara disamping variabe;-variabel ekonomi makro lainnya.
BOP terdiri atas 3 saldo, yaitu:
- Saldo neraca transaksi berjalan ( TB )
- Saldo neraca modal ( CA )
- Saldo neraca moneter ( MA )
TB adalah jumlah saldo dari 1.neraca perdagangan yang mencatat ekspor dan impor barang 2. Neraca jasa yang mencatat ekspor dan impor termasuk pendapatan royalti bunga deposito, transfer keuntungan bagi investor asing, pembayaran bunga cicilan utang luar negeri dan kiriman uang masuk dari tenaga kerja indonesia diluar negeri dan 3. Transaksi-transaksi sepihak, yakni yang mencatat transaksi keuangan internasional sepihak atau tanpa melakukan kegiatan keuangan tertentu sebagai kompensasi dari pihak penerima. Terkadang, untuk menutupi defisit TB dilakukan fasilitas khusus dari IMF yaitu Special Drawing Rights.
CA adalah neraca ygmencatat arus modal jangka pendek dan jangka panjang masuk dan keluar yang terdiri atas modal pemerintah neto dan lalu lintas modal swasta neto. Modal pemerintah yaitu selisih antara pinjaman baru yg didapat dari luar negeri dan pelunasan utang pokok dari pinjaman yg didapat pada periode sebelumya yang sudah jatuh tempo. Lau lintas modal swasta neto adalah selisih antara dana investasi yg masuk, pinjaman dari luar negeri, dan pelunasan utang pokok swasta dan dana investasi keluar negeri. Dana investasi terdiri dari dua macam yaitu investasi langsung dan investasi tidak langsung.
MA adalah neraca yg mencatat perubahan cadangan devisa berdasarkan transaksi arus devisa yg masuk dan keluar dari suatu negara dalam suatu periode tertentu yg dicatat oleh bank sentralnya. CD yg dicatat secara resmi, disebut neraca cadangan.
Selisih perhitungan antara neraca cadangan dan neraca moneter disebut error & omission. Karena secara keseluruhan saldo BOP harus ( nol=kredit ), maka MA berfungsi sebagai pos pengimbang agar selisih agar selisih antara neraca cadangan agar selisih antara neraca cadangan dan e&o sama dengan 0. Oleh karena itu, didalam MA tanda ( + ) berarti defisit atau CD berkurang dan tanda ( - ) artinya surplus ( CD bertambah )
B. MODAL ASING
1.Manfaat Bagi Negara Pemberi dan Negara Penerima
Seperti halnya perdagangan Internasional, mobilisasi modal antar negara mempunyai manfaat bagu negara pengekspor maupun pengimpor modal tersebut. Proyek investasi dengan tingkat pengembalian ( return on investment ; ROI ) yang tinggi di suatu negara tidak akan dikorbankan karena kelangkaan dana, sementara proyek investasi dengan hasil yang rendah di negara yg memiliki dana dana berlimpah dapat terus dilaksanakan. Manfaat dari adanya investasi dari DCs di LDCs juga harus dilihat dalam bentuk pertumbuhan output ( PDB ) kesempatan kerja dan pendapatan, peralihan teknologi, pengetahuan manajemen, dll.
2.Pembiayaan Defisit Tabungan-Investasi ( S-I Gap )
BAGI Indonesia modal asing diperlukan bukan hanya untuk membiayai defisit neraca transaksi berjalan atau menutupi kekurangan CD, tetapi juga untuk membiayai investasi di dalam negeri. Defisit neraca transaksi berjalan paling tidak harus dikompensasi dalam jumlah yg sama oleh surplus CA agar CD tidak berkurang. Semakin besar defisit neraca transaksi berjalan, semakin besar modal masuk yg diperlukan untuk menjaga agar CD tidak berkurang. Indonesia selama ini sangat tergantung modal asing untuk membiayai investasi didalam negeri karena dana yg bersumber dari tabungan lebih kecil daripada kebutuhan dana untuk investasi.
3.Perkembangan Arus Modal Masuk
Sebagian besar modal asing yang masuk ke Indonesia adalah modal resmi, walaupun porsinya bervariasi antar tahun. Ini karena modal asing resmi lebih dominan dibandingkan modal swasta sebagai sumber eksternal bagi pembiayaan tabungan-investasi gap Indonesia. Terutama sejak kerisis ekonomi yg disusul dengan krisis politik dan sosial, peran modal asing resmi semakin penting terutama dari IMF, Bank Dunia dan CGI, sedangkan peran dari modal asing berkurang karena indonesia menjadi tidak menarik lagi atau tidak aman untuk investasi.
Sebenarnya yang penting bukan angak persetujuan untuk diperhatikan., tetapi angka realisasinya. Data dari BKPM yang diolah oleh Litbang harian Kompas menunjukan bahwa nilai realisasi investasi langsung di Indonesia baik PMDN maupun PMA rata-rata pertahun sangat kecil sebagai suatu persentase dari nilai investasi yg disetujui.
4.Arus Modal Resmi
Arus modal resmi dalam bentuk pinjaman maupun bantuan pembangunan dari negara-negara donor secara individu ( pinjaman bilateral ). Pada saat ktisis Indonesia membutuhkan bantuan luar negeri karena modal asing swasta menurun drastis. Pada saat investasi asing mulai masuk lagi ke Indonesia, bantuan luar negeri terutama dalam bentuk bantuan pembangunan dan pinjaman dari IMF menunjukan tren yang menurun.
Bagian terpenting dari arus modal resmi yg diterima oleh pemerintah indonesia setiap tahun adalah bantuan pembangunan dalam bentuk pinjaman dengan bunga sangat murah dan persyaratan-persyaratan sangat lunak, maupun dalam bentuk hibah. Ketergantungan pemerintah terhadap bantuan pembangunan dari sumber eksternal berkorelasi negatif terhadap defisit keuangan pemerintah ( APBN ) yakni sebagai berikut:
BPN = G – Ty
BPN = bantuan pembangunan neto
G= pengeluaran pemerintah
Ty= pendapatan pemerintah
Apabila G>Ty yakni APBN defisit, arus APBN ke Indonesia positif, dan sebaliknya.
Karena defisit APBN dibiayai oleh modal asing resmi yg sebagian besar dalam bentik pinjaman, maka semakin besar defisit APBN, semakin besar pemerintah dalam pembayaran bunga pinjaman. Dan semakin besar pembayaran bunga pinjaman, semakin besar defisit NJ ( TRANSFER NETO) yang kalau lebih besar dari pada surplus NP mengakibatkan semakin besar defisit saldo TB. Berarti, defisit TB mempunyai suatu korelasi yang kuat dengan arus modal asing resmi atau BPN.
C. UTANG LUAR NEGERI
1.FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
Salah satu komponen terpenting dari arus modal masuk yang banyak mendapat perhatian di dalam literatur mengenai pembangunan ekonomi di LDCs adalah ULN. Tingginya ULN dari banyak LCDs disebabkan oleh faktor-faktor:
-Defisit TB
-Kebutuhan dana untuk membiayai tabungan-investasi gap yang negatif
-Tingkat inflasi yang tinggi
-Dan ketidakefisiensinya struktural di dalam perekonomian mereka.
Jika sebuah negara telah mecapai suatu tingkat pembangunan tertentu pada fase terakhir dari proses pembangunan, ketergantungan negara tersebut terhadap pinjaman luar negeri akan lebih rendah dibandingkan dengan periode pada saat negara itu baru mulai membangun. Proksi yang umum digunakan untuk mengukur tingkat pembangunan sebuah negara adalah tingkat PDB dalam nilai riil perkapita, sedangkan indikator-indikator makro yang umum digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan sebuah negara yerhadap bantuan atau ULN adalah misalnya rasio ULN-PDB atau rasio ULN terhadap nilai total dari perdagangan luar negeri ekspor+impor atau terhadap nilai ekspor.
2.Perkembangan ULN Indonesia
Dalam kasus Indonesia, tren perkembangan ULN-nya cenderung menunjukkan suatu korelasi positif antara peningkatan jumlah ULN yang sering disebut Growth With Indebtedness.
ULN Indonesia terdiri dari sektor publik ( pemerintah dan BUMN ) dan swasta yang digaransi maupun tidak oleh pemerintah. Sejak krisis ekonomi pinjaman dari IMF menjadi komponen penting dari ULN pemerintah yang dapat dikatakan sebagai penyelamat Indonesia hingga tidak sampai mengalami status kebangkrutan secara finansial.
Khusus untuk ULN pemerintah, salah satu rasionya dalah pembayaran DS terhadap pengeluaran pemerintah. Selama periode 1993-1994-2000, rasio paling rendah adalah 60% (1993-1994) dan paling tinggi adalah 140% (2000) . Perhitungan rasio ini tidak termasuk utang dari IMF. Rasionya akan lebih tinggi jika termasuk IMF.Rasio pembayaran DS terhadap pengeluaran pemerintah tersebut jauh lebih besar dibandingkan rasio BP luar negeri terhadap pengeluaran pembangunan, yang artinya beban pembayaran DS lebih besar daripada keuntungan dari adanya pinjaman lunak untuk membiayai pinjaman.
Beban pemerintah dalam pembayaran DS menjadi semakin besar sejak krisis ekonomi atau tepatnya sejak pemerintah melibatkan IMF dalam usaha pemulihan ekonomi nasional. Jumlah tersebut merupakan bunga atas pinjaman yg tidak dapat dipakai oleh pemerintah karena pinjaman dari IMF itu hanya boleh difungsikan sebagai pendukung.
BI membuat perhitungan mengenai jadwal pembayaran DS yg harus dilakukan oleh pemerintah kepada IMF selama periode 2002-2010. Perhitungan ini didasarkan pada jumlah utang dari IMF yang diterima oleh pemerintah hingga Juni 2002 sebesar 9,4 miliar dolar AS. Hingga 2010 jumlah pokok utang dan bunga yang dibayar mencapai masing-masing 9,4 miliar dolar AS dan hampir 1 miliar dolar AS.
D. EKSPOR
Seperti disebutkan di atas, perkembangan ekspor secara kese luruhan sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Seperti terlihat pada Tabel V-1, nilainya dalam tahun 1992/93 telah mencapai US$ 35,3 miliar, atau meningkat rata-rata sebesar 15,5% setiap tahunnya. Peningkat-an yang cukup tinggi tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan ekspor non migas dan ekspor gas (LNG dan LPG) sementara ekspor minyak bumi menunjukkan laju pertumbuhan yang melambat.
Sebesar 19,5% sehingga mencapai US$ 24,8 miliar pada tahun 1992/93. Laju pertumbuhan ekspor non migas yang cukup tinggi ini merupakan sukses tersendiri mengingat dalam periode yang sama perekonomian dunia masih ditandai oleh kelesuan. Adanya peningkatan yang relatif cepat tersebut tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan Iangkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi dalam mengefisienkan perekonomian, diversifikasi produk ekspor, dan usaha lainnya, sehingga dapat mendorong peningkatan daya saing ekspor non migas. Berbagai faktor yang mempengaruhi ekspor non migas, baik internal maupun eksternal, juga terus diikuti perkembangannya sekaligus diupayakan pemecahannya agar ekspor non migas dapat terus meningkat.
Selain langkah-langkah kebijakan tersebut di atas, dilanjutkan upaya peningkatan ekspor melalui cara imbal beli dengan beberapa negara, yang pada hakekatnya dimaksudkan untuk mengembangkan ekspor non migas, baik dalam bentuk peningkatan volume ekspor maupun dalam jumlah eksportir, jumlah negara tujuan ekspor, jenis komoditi ekspor dan transaksi ekspor lainnya, sehingga padagilirannya akan meningkatkan realisasi nilai ekspor non migas.
Perkembangan nilai ekspor non migas menunjukkan gambaran sebagai berikut.
Selama 4 tahun terakhir ini ekspor tekstil dan pakaian jadi meningkat pesat menjadi lebih dari 3,5 kali dari US$ 1.570,7 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 5.527,1 juta dalam tahun 1992/93, atau meningkat dengan rata-rata 37,0% per tahun (lihat Tabel V-4). Keberhasilan ekspor tekstil dan pakaian jadi tersebutterutama karena didukung oleh usaha perluasan pasar, perbaikan mutu, diversifikasi produksi tekstil, dan penanaman modal asing, yang secara bertahap terus dikembangkan.
Sementara itu, nilai ekspor kayu lapis meningkat dari US$ 2.095,0 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 2:861,3 jutadalam tahun 1992/93, atau meningkat rata-rata sebesar 8,1 % per tahun. Rendahnya peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh adanya kebijaksanaan diskriminatif yang dilakukan oleh Jepang dan pembatasan penggunaan produk-produk kayu yang berasal dari kayu tropis oleh negara-negara Eropa Barat.
Nilai ekspor hasil tambang di luar timah dan aluminium meningkat dari US$ 1.089,6 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 1.529,6 juta dalam tahun 1992/93, atau meningkat rata-rata sebesar 8,8% per tahun. Perkembangan tersebut didukung oleh meningkatnya ekspor beberapa hasil tambang utama, yaitu tembaga, batu bara dan emas, sejalan dengan peningkatan kapasitas produksihasil-hasil tambang tersebut.
Dalam tahun 1992/93 nilai ekspor udang, ikan dan hasil hewan lainnya hanya sebesar US$ 1.120,8 juta, atau turun sebesar 2,6% bila dibandingkan dengan tahun 1991/92. Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya harga dari salah satu komoditi penting dalam kelompok ini, yaitu udang, sebagai akibat adanya kelebihan pasokan di pasaran Jepang dengan masuknya udang putih dari RRC. Selain itu, masih ditemui adanya hambatan berupa tingginya bea masuk ke pasaran Eropa serta masuknya produk udang Indonesia dalam daftar hitam karena adanya anggapan bahwa Indonesia masih merupakan daerah rawan wabah penyakit kolera.
Sementara itu, pertumbuhan ekspor karet cenderung melambat. Nilai ekspornya dalam tahun 1992/93 hanya sebesar US$ 941,0 juta, atau hanya meningkat sebesar 0,9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan ini terutama karena melemahnya harga karet yang antara lain disebabkan oleh kegagalan Sidang Organisasi Karet Alam Internasional (INRO) dalam merumuskan ketentuan mengenai mekanisme harga.
Nilai ekspor hasil-hasil industri pengolahan yang paling menonjol adalah nilai ekspor alat listrik. Selama 4 tahun terakhir, nilai ekspornya mengalami peningkatan secara berturut-turut sebesar. V/24 66,2% pada tahun 1989/90, 47,1 % pada tahun 1990/91, 110,3 % pada tahun 1991/92, dan 61,5 % pada tahun 1992/93, sehingga pada tahun 1992/93 nilainya mencapai US$ 878,0 juta. Peningkatan tersebut terutama karena perluasan pasar, peningkatan volume ekspor, dan peningkatan kapasitas produksi di dalam negeri. Ekspornya terutama ditujukan ke Singapura, Malaysia dan Amerika Serikat. Dalam pada itu, nilai ekspor kerajinan tangan berupa kain tenun/sulaman, barang kerajinan dari kayu dan anyam-anyaman, jugamengalami peningkatan. Dibanding dengan tahun sebelumnya peningkatan ekspor komoditi ini adalah sebesar 36,0% pada tahun 1989/90, 42,1 % pada tahun 1990/91, 37,2% pada tahun 1991/92, dan 11,9% pada tahun 1992/93.
Sebaliknya, perkembangan ekspor kopi selama 4 tahun terakhir ini terus menurun. Nilainya adalah sebesar US$ 570,6 juta dalam tahun 1988/89 dan terus menurun sehingga menjadi US$ 348,8 juta dalam tahun 1992/93. Penurunan ini disebabkan oleh semakin menurunnya volume ekspor, serta terus menurunnya harga kopi di pasar internasional. Ekspor minyak sawit dan biji kelapa sawit dalam 3 tahun terakhir terus meningkat. Dibanding dengan tahun sebelumnya peningkatan ekspor komoditi ini adalah sebesar 1,8% pada tahun 1990/91, 23,0% pada tahun ' 1991/92, dan 36,4% pada tahun 1992/93. Peningkatan ini terutama berketiaan dengan meningkatnya produksi, dihapuskannya tata niaga ekspor kelapa sawit sertaberkurangnya pasokan minyak kedele dan minyak kelapa di pasaran internasional.
Ekspor alas kaki merupakan salah satu komoditi penting dari eksporhasil-hasil lainnya dan menunjukkan perkembangan yang pesat. Pada tahun 1988/89 nilai ekspornya baru mencapai US$ 110,8 juta, tetapi pada tahun 1992/93 telah mencapai US$ 1,5 miliar. Peningkatan yang cukup pesat ini antara lain disebabkan oleh Meningkatnya produksi sebagai hasil relokasi industri sepatu terutama relokasi perusahaan Korea Selatan yang mendominasi produk sepatu olahraga.
Sementara itu, harga rata-rata minyak bumi Indonesia yang dicapai selama tahun 1992/93 adalah sebesar US$ 18,61 per barel dengan volume ekspor sebesar 348,3 juta barel. Nilai ekspornya pada tahun itu hanya mencapai US$ 6,4 miliar, atau turun dengan 7,4 % dibandingkan tahun sebelumnya. Di lain pihak ekspor gas alam cair (LNG dan LPG) menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Selama 4 tahun terakhir nilai ekspornya meningkat dari US$ 2.633,0 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 4.118,0 juta dalam tahun 1992/93, atau meningkat dengan rata-rata 11,8% per tahun. Perkembangan ini menuju pula ke arah diversifikasi ekspor migas sehingga mengurangi ketergantungan pada ekspor minyak bumi.
E. IMPOR DAN JASA-JASA
Perkembangan impor selama 4 tahun pelaksanaan Repelita V berkaitan erat dengan laju pertumbuhan produksi di dalam negeri, yang berarti semakin besarnya kebutuhan akan impor bahan baku dan penolong serta barang-barang modal sesuai dengan tahap-tahap pembangunan. Usaha pemerintah untuk menyehatkan perekonomian melalui kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan telah pula mempengaruhi laju pertumbuhan impor.
Pada tahun 1992/93 keseluruhan nilai impor (f.o.b.) telah mencapai US$ 27,3 miliar, atau meningkat rata-rata per tahun sebesar 17,5 % sejak tahun 1988/89 (Tabel V-1). Impor non migas pada periode yang sama meningkat rata-rata sebesar 18,0% per tahun dari US$ 12,2 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 23,8 miliar pada tahun 1992/93, sedangkan impor migas meningkat rata-rata sebesar 14,5 % per tahun sehingga mencapai US$ 3,5 miliar.
Perkembangan dari beberapa komoditi impor non migas (c.i.f.) menurut golongan ekonomi yang diolah oleh Biro Pusat Statistik . Komposisi impor barang konsumsi dalam tahun 1992 meningkat sedikit dari tahun 1991, yaitu dari 3,9% menjadi 4,6%. Barang dalam kelompok ini yang menunjukkan peningkatan terbesar adalah impor pangan dan minuman, yaitu dari US$ 235,8 juta menjadi US$ 419,9 juta, sebagai penunjang kunjungan wisatawan mancanegara.
Sementara itu, dominasi impor non migas dalam tahun 1992 masih dipegang oleh impor bahan baku/penolong, yang peranannya meningkat dari 63,5% dalam tahun 1991 menjadi 66,1 % dalam tahun 1992. Kenaikan impornya terjadi antara lain pada komoditi bahan baku industri pangan dan minuman sebesar 15,8%, bahanbaku industri lainnya sebesar 11,4%, serta suku cadang dan perlengkapan sebesar 9,6%.
Selanjutnya, walaupun peranan impor barang modal menurun dari 32,6% dalam tahun 1991 menjadi 29,3% dalam tahun 1992, namun terjadi peningkatan pada barang-barang seperti peralatan listrik sebesar 65,9%, mesin pembangkit tenaga listrik sebesar 50,1 %, dan alat telekomunikasi sebesar 39,1 %. Sedangkan imporalat pengangkutan turun sangat tajam sebesar 37,8%.
Perkembangan tersebut di atas mencerminkan makin banyak-nya barang-barang konsumsi yang diproduksikan di dalam negeri dan makin mendalamnya serta makin meluasnya kegiatan industri peng-olahan yang dilakukan di dalam negeri. Hal ini sejalan dengan pesatnya pengembangan industri dalam negeri.
Dalam pada itu, berbagai kebijaksanaan di bidang jasa jasa, terutama yang berkaitan dengan penerimaan devisa, terus disempur-nakan. Seperti terlihat dalam Tabel V-1 dalam tahun 1992/93 pengeluaran neto untuk jasa jasa telah mencapai US$ 10.548 juta, atau meningkat sebesar 13,9% dibandingkan dengan tahun sebelum-nya. Di sektor migas, pengeluaran jasa jasa neto telah meningkat dengan 13,3 % , yaitu dari US$ 3.001 juta pada tahun 1991/92 men-jadi US$ 3.399 juta pada.tahun 1992/93. Ini terutama disebabkan oleh meningkatnya biaya produksi minyak bumi.
Sementara itu, pengeluaran neto untuk impor jasa jasa di sektor non migas telah pula meningkat dari US$ 6.262 juta pada tahun 1991/92 menjadi US$ 7.149 juta pada tahun 1992/93, atau meningkat sebesar 14,2 % dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan yang cukup tinggi ini te.rutama disebabkan oleh meningkatnya pembayaran bunga pinjaman luar negeri, biaya angkutan barang impor, dan menurunnya penerimaan bunga bank-bank devisa. Dalam pada itu, penerimaan devisa dari sektor pariwisata meningkat sebesar 27,4%, yaitu dari US$ 2.602 juta dalam tahun 1991/92 menjadi US$ 3.314 juta dalam tahun 1992/93.
F. PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH
Sebagaimana digariskan dalam GBHN, pinjaman luar negeri sebagai sumber pembiayaan pelengkap dalam pembangunan, tidak boleh disertai dengan ikatan politik apapun, dan harus dimanfaatkan secara hati-hati, baik mengenai jumlah, persyaratan maupun penggunaannya, serta digunakan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian ekonomi nasional di kemudian hari.
Dalam tahun 1992/93 persetujuan pinjaman luar negeri Pemerintah mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari US$ 9.121,4 juta menjadi US$ 7.018,8 juta. Persetujuan pinjaman lunak yang terdiri dari Fast Disbursing Assistance dan bantuan proyek meningkat dari US$ 5.255,1 jutadalam tahun 1991/92 menjadi US$. 5.498,7 juta dalam tahun 1992/93. Di lain pihak, persetujuan pinjaman proyek lainnya, yang terdiri dari kredit ekspor dan kredit komersial menurun dari
US$ 3.466,3 juta dalam tahun 1991/92 menjadi US$ 1.520,1 juta dalam tahun 1992/93. Dalam pada itu, pinjaman tunai (komersial) mulai tahun 1992/93 ditiadakan. Ditinjau dari komposisi pinjaman, pinjaman luar negeri Pemerintah sebagian besar tetap dalam bentuk pinjaman lunak. Peranan pinjaman lunak telah meningkat dari 57,6% pada tahun 1991/92 menjadi 78,3% pada tahun 1992/93 seperti terlihat pada Tabel V-9. Perkembangan tersebut merupakan perwujudan dari kebijaksanaan pinjaman luar negeri yang berhati-hati dengan senantiasa memperhatikan kemampuan untuk membayar kembali.
Pelunasan pokok dan pembayaran bunga pinjaman meningkat terus dari US$ 6.328 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 7.535 juta dalam tahun 1992/93.Perkembangan ini sejalan dengan meningkatnya proyek-proyek yang dibangun dan memadatnya jatuh waktu pinjaman.
Sementara itu, perbandingan antara jumlah pelunasan pinjaman luar negeri Pemerintah terhadap ekspor (Debt Service Ratio) terus menurun, dari 31,9%dalam tahun 1988/89 menjadi 21,3% dalam tahun 1992/93.