CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi. Penanam modal baik dalam maupun asing tidak dibenarkan hanya mencapai keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-kepentngan pihak lain yang terkai dan harus tunduk dan mentaati ketentuan CSR sebagai kewajiban hukum jika ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Komitmen bersama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan menciptakan iklim investasi bagi penanam modal untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai melalui pelaksanaan CSR. CSR dalam konteks penanaman modal harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis.
A. Latar Belakang Masalah
Tanggung jawab sosial perusahaan
atau corporate social responsibility (untuk selanjutnya disebut
CSR) mungkin masih kurang popular dikalangan pelaku usaha nasional. Namun,
tidak berlaku bagi pelaku usaha asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang
dilakukan secara sukarela itu, sudah biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional ratusan tahun lalu.
Berbeda dengan kondisi
Indonesia, di sini kegiatan CSR baru dimulai beberapa tahun belakangan.
Tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi
dan pasar bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang
pentingnya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Walaupun
sudah lama prinsip-prinsip CSR diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam
lingkup hukum perusahaan. Namun amat disesalkan dari hasil survey yang
dilakukan oleh Suprapto pada tahun 2005 terhadap 375 perusahaan di Jakarta
menunjukkan bahwa 166 atau 44,27 % perusahaan menyatakan tidak melakukan
kegiatan CSR dan 209 atau 55,75 % perusahaan melakukan kegiatan CSR. Sedangkan
bentuk CSR yang dijalankan meliputi; pertama, kegiatan kekeluargaan (116
perusahaan), kedua, sumbangan pada lembaga agama (50 perusahaan), ketiga, sumbangan
pada yayasan social (39perusahaan), keempat, pengembangan komunitas (4perusahaan).Survei ini
juga mengemukakan bahwa CSR yang dilakukan oleh perusahaan amat tergantung pada
keinginan dari pihak manajemen perusahaan sendiri.
Hasil Program Penilaian Peringkat
Perusahaan (PROPER) 2004-2005 Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan
bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan mendapat rapor hitam, 150
merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada yang berperingkat emas. Dengan begitu
banyaknya perusahaan yang mendapat rapor hitam dan merah, menunjukkan bahwa
mereka tidak menerapkan tanggung jawab lingkungan. Disamping itu dalam
prakteknya tidak semua perusahaan menerapkan CSR. Bagi kebanyakan perusahaan,
CSR dianggap sebagai parasit yang dapat membebani biaya “capital maintenance”.
Kalaupun ada yang melakukan CSR, itupun dilakukan untuk adu gengsi. Jarang ada
CSR yang memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat.
Kondisi tersebut makin populer
tatkala DPR mengetuk palu tanda disetujuinya klausul CSR masuk ke dalam UU No.
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal (UU PM). Pasal 74 UU PT yang menyebutkan bahwa
setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Aturan lebih tegas sebenarnya juga
sudah ada di UU PM Dalam pasal 15 huruf b disebutkan, setiap penanam modal
berkewajiban melaksankan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika tidak, maka
dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha,
pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan
kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (pasal 34 ayat
(1) UU PM).
Tentu saja kedua ketentuan
undang-undang tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha
lokal. Apalagi munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat itu sempat
mengundnag polemik. Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih
tetap berlanjut sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung
dalam Kadin dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat
keras menentang kehadiran dari pasal tersebut. Pertanyaan yang selalu muncul
adalah kenapa CSR harus diatur dan menjadi sebuah kewajiban ? Alasan
mereka adalah CSR kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah
ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak
atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika diatur sambungnya selain
bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada
dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan.
Pikiran-pikiran yang menyatakan
kontra terhadap pengaturan CSR menjadi sebuah kewajiban, disinyalir dapat
menghambat iklim investasi baik bagi perseroan yang sudah ada maupun yang akan
masuk ke Indonesia. Atas dasar berbagai pro dan kontra itulah tulisan ini
diangkat untuk memberikan urun rembug terhadap pemahaman CSR dalam perspektif
kewajiban hukum.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang dan problematika yang muncul tersebut di atas maka
permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimanakah esensi
pengaturan hukum CSR dan implikasinya dalam meningkatkan iklim investasi
di Indonesia ?
C. Pembahasan
1. Esensi Pengaturan CSR sebagai
Kewajiban Hukum
Sebelum membahas lebih
jauh mengenai hubungan antara CSR dan implikasinya terhadap iklim penanaman
modal perlu kiranya mengetahui apa yang dimaksud dengan CSR. Sampai saat
ini belum ada kesamaan pandang mengenai konsep dan penerapan CSR, meskipun
kalangan dunia usaha menyadari bahwa CSR ini amat penting bagi keberlanjutan
usaha suatu perusahaan. Gurvy Kavei mengatakan, bahwa praktek CSR dipercaya
menjadi landasan fundamental bagi pembangunan berkelanjutan (sustainability
development), bukan hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi stakeholders
dalam arti keseluruhan.
Dari pengertian-pengertian CSR
tampak belum adanya keseragaman ataupun persamaan persepsi dan pandangan
mengenai CSR. Terlihat dari ketentuan dalam UUPM dan UUPT, melihat tanggung
jawab sosial pada titik pandang yang berbeda. UUPM lebih menekankan CSR sebagai
upaya perusahaan untuk menciptakan harmonisasi dengan lingkungan di mana ia
beroperasi. Sedangkan UUPT justru mencoba memisahkan antara tanggung jawab
sosial dengan tanggung jawab lingkungan. UUPM bertolak dari konsep tanggung
jawab perusahaan pada aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (triple bottom
line). Namun demikian keduanya mempunyai tujuan yang sama mengarah pada CSR
sebagai sebuah komitmen perusahaan terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan
dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan.
Jika ditarik pada berbagai
pengertian di atas maka CSR merupakan komitmen perusahaan terhadap kepentingan
pada stakeholders dalam arti luas dari sekedar kepentingan perusahaan belaka. Dengan
kata lain, meskipun secara moral adalah baik bahwa perusahaan maupun penanam
modal mengejar keuntungan, bukan berarti perusahaan ataupun penanam
modal dibenarkan mencapai keuntungan dengan mengorbankan
kepentingan-kepentngan pihak lain yang terkait.
Dengan adanya ketentuan CSR sebagai
sebuah kewajiban dapat merubah pandangan maupun perilaku dari pelaku usaha,
sehingga CSR tidak lagi dimaknai sekedar tuntutan moral an-sich, tetapi
diyakinkan sebagai kewajiban perusahaan yang harus dilaksanakan.
Kesadaran ini memberikan makna bahwa
perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri, alienasi
dan atau eksklusifitas dari lingkungan masyarakat, melainkan sebuah entitas
usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosial. Sehingga
tidak berkelebihan jika ke depan CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar
responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai
mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanks.
Menyikapi kondisi yang ada tersebut,
bahwa hukum sebagai produk kebijakan politik tidak selamanya merupakan conditio
sine qua non bagi tujuan yang hendak dicapai. Hal ini menunjukkan
hukum mempunyai batas-batas kemampuan tertentu untuk mengakomodasi nilai-nilai
yang tumbuh dan hidup dalam komunitas masyarakat, oleh karena itu Roscoe Pound
menyatakan bahwa tugas hukum yang utama dalah ”social engineering”.
Dalam doktrin ini dikatakan bahwa hukum harus dikembangkan sesuai dengan
perubahan-perubahan nilai sosial. Untuk itu sebaiknya diadakan rumusan-rumusan
kepentingan yang ada dalam masyarakat yaitu kepentingan pribadi, masyarakat dan
umum.
Dengan demikian hukum bagi Roscoe
Pound merupakan alat untuk membangun masyarakat (law is a tool of social
engineering). Sehingga hokum bukan saja berdasarkan pada akal, tetapi juga
pengalaman. Akal diuji oleh pengalaman dan pengalaman yang dikembangkan oleh
akal.
Konteks tanggung jawab social (CSR)
dalam hal ini ada kewajiban bertanggung jawab atas perintah undang-undang, dan
memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang
telah ditimbulkan. Tanggung jawab social berada pada ranah moral,
sehingga posisinya tidak sama dengan hokum. Moral dalam tanggung ajwab social
lebih mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap
batiniha, sikap inilah yang dikenal dengan “moralitas” yaitu sikap dan
perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Sedangkan tanggung jawab hokum
lebih menekankan pada ksesuaian sikap lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan
tersbeut secara obyektif tidak salah, barangkali baik dan sesuai dengan
pandanan moral, hokum, dan nilai-nilai budaya masyarakat. Namun demikian
kesesuaian saja tidak dapat dijadikan dasar untuk menarik suatu kesimpulan
karena tidak tahu motivasi atau maksud yang mendasarinya.
Bila dikaitkan dengan teori tanggung
jawab sosial dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung
jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholders
dalam arti luas dari pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan
perusahaan belaka.Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan
pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya yang
berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat dan lingkungan di mana
perusahaan- perusahaan melakukan aktivitas usahanya sedemikian rupa, sehingga
tidak berdampak negatif pada pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Sedangkan
secara positif hal ini mengandung makna bahwa perusahaan harus menjalankan
kegiatannya sedemikian rupa, sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang lebih
baik dan sejahtera.
Kondisi Indonesia masih menghendaki
adanya CSR sebagai suatu kewajiban hukum. Kesadarna akan adanya CSR masih
rendah, kondisinya yang terjadi adalah belum adanya kesadaran moral yang cukup
dan bahkan seringkali terjadi suatu yang diatur saja masih ditabrak, apalagi
kalau tidak diatur. Karena ketaatan orang terhadap hukum masih sangat rendah.
CSR lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang
mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti : perusakan lingkungan, eksploitasi
sumber daya alam, “ngemplang” pajak, dan menindas buruh. Lalu, kebanyakan
perusahaan juga cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar.
Jika situasi dan kondisi yang
terjadi masih seperti tersebut di atas, maka hukum harus berperan. Tanggung
jawab perusahaan yang semula adalah tanggung jawab non hukum (responsibility)
akan berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Otomatis
perusahaan yang tidak memenuhi perundang-undangan dapat diberi sanksi.
2. CSR dan Implikasinya pada Iklim
Penanaman Modal di Indonesia
Selanjutnya akan dibahas mengenai
bagaimana CSR dan implikasinya terhadap iklim penanaman modal di Indonesia.
Penanaman modal dalam UUPM No. 25 Tahun 2007, Pasal 1 angka 1
dinyatakan bahwa ”Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal,
baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan
usaha di wilayah negara Republik Indonesia”.
Kehadiran UUPM NO. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal diharapkan, mampu memberikan angin segar kepada
investor dan memberikan iklim investasi yang menggairahkan. Kenyamanan dan
ketertarikan investor asing terutama apabila terciptanya sebuah kepastian hukum
dan jaminan adanya keselamatan dan kenyamanan terhadap modal yang
ditanamkan. Secara garis besar tujuan dari dikeluarkannya
UU PM tentunya disamping memberikan kepastian hukum juga adanya
transparansi dan tidak membeda-bedakan serta memberikan perlakuan yang sama
kepada investor dalam dan luar negeri.
Dengan adanya kepastian hukum dan
jaminan kenyamanan serta keamanan terhadap investor, tentunya akan meningkatkan
daya saing Indonesia di pasar global yang merosot sejak terjadinya krisis
moneter. Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian
dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk
menigkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan
kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang
berdaya saing.
Tujuan penyelenggaraan penanaman
modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim
investasi dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antarinstansi
Pemerintah Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum
di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim
usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan
perbaikan faktor tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik
secara signifikan.
Suasana kebatinan yang diharapkan
oleh pembentuk UU PM, didasarkan pada semangat ingin menciptakan iklim
penanaman modal yang kondusif yang salah satu aturannya mengatur tentang
kewajiban untuk menjalankan CSR. Bagi pelaku usaha (pemodal baik dalam maupun
asing) memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan CSR baik
dalam aspek lingkungan, sosial maupun budaya.
Penerapan kewajiban CSR
sebabagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal , Pasal
15 huruf b menyebutkan ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung
jawab sosial perusahaan”. Jika tidak dilakukan maka dapat diberikan sanksi
administrasi berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan,
hingga pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34
ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007). Sedangkan yang dimaksud “tanggung jawab sosial
perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman
modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Ilustrasi yang menggambarkan
keinginan dari berbagai anggota dewan pada waktu itu adalah kewajiban CSR
terpaksa dilakukan lantaran banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di
Indonesia, lepas dari tanggung jawabnya dalam mengelola lingkungan. ”Pengalaman
menunjukkan, bahwa banyak sekali perusahaan yang hanya melakukan kegiatan
operasional tetapi kurang sekali memberikan perhatian terhadap kepentingan
sosial”. Beberapa contoh kasus , seperti : lumpur Lapindo di Porong, lalu
konflik masyarakat Papua dengan PT. Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh
dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun, pencemaran oleh Newmont di
Teluk Buyat dan sebagainya.
Alasan lainnya adalah kewajiban CSR
juga sudah diterapkan pada perusahaan BUMN. Perusahaan-perusahaan pelat merah
telah lama menerapkan CSR dengan cara memberikan bantuan kepada pihak ketiga
dalam bentuk pembangunan fisik. Kewajiban itu diatur dalam Keputusan Menteri
BUMN maupun Menteri Keuangan sejak tahun 1997. ”oleh karena itu, perusahaan
yang ada di Indonesia sudah waktunya turut serta memikirkan hal-hal yang
berkaitan dengan lingkungan dimana perusahaan itu berada”.
Tren globalisasi menunjukkan hal-hal
yang berkaitan dengan lingkungan sudah menjadi hal yang mendesak bagi
kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Lingkungan hidup yang sehat
merupakan bagian dari hak azasi manusia. Di Inggris dan Belanda misalnya, CSR
menjadi sebuah penilaian hukum oleh otoritas pasar modal, disamping penilaian
dari publik sendiri. ”Kalau perusahaan itu tidak pernah melakukan CSR justru
kinerja saham di bursa saham kurang bagus”.
CSR dalam konteks penanaman
modal harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang
tidak etis. Oleh karena itu harus dibantah pendapat yang menyatakan CSR identik
dengan kegiatan sukarela, dan menghambat iklim investasi. CSR merupakan sarana
untuk meminimalisir dampak negatif dari proses produksi bisnis terhadap publik,
khususnya dengan para stakeholdernya. Maka dari itu, sangat tepat apabila CSR
diberlakukan sebagai kewajiban yang sifatnya mandatory dan harus dijalankan
oleh pihak perseroan selama masih beroperasi. Demikian pula pemerintah sebagai agen
yang mewakili kepentingan publik. Sudah sepatutnya mereka (pemerintah) memiliki
otoritas untuk melakukan penataan atau meregulasi CSR.
Dengan demikian, keberadaan
perusahaan akan menjadi sangat bermanfaat, sehingga dapat menjalankan misinya
untuk meraih optimalisasi profit, sekaligus dapat menjalankan misi sosialnya
untuk kepentingan masyarakat. Pengaturan mengenai tanggung jawab penanam modal
diperlukan untuk mendorong iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar
tanggung jawab lingkungan dan pemenuhan hak dan kewajiban serta upaya
mendorong ketaatan penanam modal terhadap peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan CSR secara konsisten
oleh perusahaan akan mampu menciptakan iklim investasi (penanaman modal).
Anggapan yang mengatakan bahwa CSR akan menghambat iklim investasi patut
ditolak. Ada kewajiban bagi setiap penanam modal yang datang ke Indonesia wajib
mentaati aturan atau hukum yang berlaku di Indonesia, apapun bentuknya.
Indonesia masih menjanjikan bagi investor dalam maupun asing. Sumber daya alam
masih merupakan daya tarik tersendiri dibandingkan negara-negara sesama ASEAN
dalam posisi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Kondisi tersebut dapat terwujud apabila diimbangi dengan manfaat dari
kesiapan peningkatan mutu infrastrukturt, manusia, pengetahuan dan fisik.
UU PM memberikan jaminan kepada
seluruh investor, baik asing maupun lokal, berdasarkan asas kepastian hukum,
keterbukaan, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal
negara, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
CSR dalam UUPM dapat terlaksana jika dibarengi dengan lembaga yang kuat dalam
menegakkan aturan dan proses yang benar. Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum
itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan
manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions)
dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam
kenyataan.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang dan pembahasan di atas maka
kesimpulan yang dapat diambil dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
pelaksanaan CSR yang baik dan benar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku
akan berimplikasi pada iklim penanaman modal yang kondusif. Untuk bisa
mewujudkan CSR setiap pelaku usaha (investor) baik dalam maupun asing
yang melakukan kegiatan di wilayah RI wajib melaksanakan aturan dan tunduk
kepada hukum yang berlaku di Indonesia, sebaliknya pemerintah sebagai regulator
wajib dan secara konsisten menerapkan aturan dan sanksi apabila ada pelanggaran
yang dilakukan oleh perusahaan yang tidak melaksanakan CSR sesuai dengan
ketentuan undang-undang yang berlaku.
2. Saran-saran
a. Pemerintah perlu terus melakukan
sosialisasi kepada para pelaku usaha untuk menyamakan persepsi mengenai
pentingnya CSR dalam mewujudkan iklim penanaman modal di Indonesia.
b. Dibutuhkan konsistensi dan
komitmen baik dari pemerintah maupun pelaku usaha (investor) dalam
melakssanakan CSR sebagai suatu kewajiban hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar